PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an
sebagai wahyu terakhir dan merupakan mu’jizat terbesar yang diwahyukan Allah
kepada rasul-Nya Muhammad SAW. pada hakekatnya memiliki relevansi dengan
dinamika sosial-kemasyarakatan serta merupakan petunjuk bagi umat manusia “hudan
linnas” (al-Baqarah : 185) yang setiap saat harus dibuka, dibaca dan
dipahami arti atau maknanya, sehingga keberadaannya tidak saja menjadi benda
sakral yang memiliki nilai “sakti” atau “petuah” yang
mengandung daya penangkal bala, tetapi juga sebagai referensi kehidupan yang
sangat berharga yang bermanfaat dalam berkomonikasi dengan Allah, alam, manusia
dan bahkan dengan ego manusia itu sendiri untuk mencapai kualitas spiritual
tertinggi, yakni taqwa kepada-Nya.
Dewasa
ini, pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta maraknya budaya
modernisasi melingkupi kehidupan umat manusia telah menciptakan manusia-manusia
satu dimensi yang kehilangan dimensi spiritualitasnya dan cenderung
berorientasi pada kebendaan belaka.
Fenomina
dan kecenderungan ini telah demikian luas mewarnai kehidupan manusia, sehingga
peran agama sebagai pengendali sikap dan prilaku, maupun sebagai landasan
moral, etika dan spiritual manusia menjadi semakin penting adanya.
Pengalaman
membuktikan bahwa penguasaan, pengembangan dan pendayagunaan ilmu pengetahuan
dan teknologi (iptek) yang tidak disertai oleh keluhuran akhlaq atau budi
pekerti akan membawa manusia kepada penderitaan dan kesengsaraan, atau bahkan
kehancuran. Oleh karena itu, penguasaan, pengembangan dan pendayagunaan iptek
harus senantiasa berada dalam jalur nilai-nilai kemanusiaan dan keagamaan yang
luhur.
Al-Qur’an
sebagai sebuah konsep dan landasan konseptual Islam, sejak awal diturunkannya
telah memerintahkan manusia untuk “membaca” ( إقراء ),
baik ayat-ayat qauliyah maupun kauniyah, sebagai titik tolak munculnya
peradaban manusia.
Tetapi
jangan lupa “nama Tuhanmu” ( باسم
ربك ) yang
merupakan kendali dari perkembangan membaca, karena pada dasarnya antara
keduanya harus berjalan seimbang agar tercipta sesuatu yang padu, ilmu dan
iman, akal dan hati serta jasmani dan rohani.
Kehilangan
salah satunya berarti kepincangan pada diri manusia, seperti yang terjadi
selama ini, akibat renaissance yang memunculkan paham-paham
modernisme dan sekularisme, membuat ilmu pengetahuan tidak lagi seiring dengan
agama, bahkan menganggap agama hanya menjadi penghalang laju perkembangan ilmu
pengetahuan. Hal ini mengakibatkan ilmu pengetahuan kehilangan kontrol dan
melahirkan manusia-manusia yang memiliki tendensi materialis, kapitalis,
rasionalis, dan lainnya serta cenderung membatasi diri hanya pada hal-hal yang
“nampak mata” dan mulai meragukan hal-hal yang ada diluar jangkauannya.
Dengan
demikian manusia telah mengalami penyimpangan dari potensi fitrahnya, sehingga
manusia membutuhkan pendidikan yang dapat mengantarkannya sejalan dengan tujuan
penciptaannya. Itulah pendidikan al-Qur’an yang memberi masukan kepada anak
didik berupa ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan alam fisika dan metafisika.
Sebagaimana
telah dijelaskan diatas, bahwa al-Qur’an sejak awal diturunkannya telah
memerintahkan manusia untuk “membaca”. Membaca disini tidak hanya
berarti membaca teks al-Qur’an itu sendiri, tetapi menjangkau setiap sesuatu
yang dapat dibaca, karenanya, dari ayat ini manusia dituntut untuk meneliti,
mendalami serta berfikir yang selanjutnya akan menghasilkan ilmu pengetahuan
baru untuk kepentingan manusia tersebut.
Kemudian
sebagai pengontrol atau kendali dari ilmu pengetahuan yang diperoleh, manusia
harus tetap melandasi pemahamannya “demi karena Allah”, sehingga
ilmu apapun yang diperoleh harus memberi manfaat, baik bagi dirinya maupun
manusia pada umumnya. Karena pada dasarnya pengetahuan dan peradaban yang
dirancang oleh al-Qur’an adalah pengetahuan terpadu yang melibatkan akal dan
kalbu untuk memperolehnya.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah diatas, maka dapatlah dirumuskan beberapa masalah yang
menarik untuk di kaji :
1.
Bagaimana
sebab turunnya surat al-Alaq 1-5 ?
2.
Apa
palsafah dasar Iqra’ ?
3.
Bagaimana
proses pendidikan manusia menurut QS. Al-Alaq 1-5?
C. Tujuan
Penulisan
Adapun
tujuan dari penyusunan makalah ini, disamping tujuan normative yaitu sebagai
tanggungjawab penyusun yang harus digugurkan ataupun bertujuan untuk memberikan
landasan teoritis bagi penyusun lain yang memiliki keterkaitan dengan judul
makalah ini, secara subtansial, makalah ini memberikan informasi keilmuan
menyangkut:
1. Sebab
turunnya QS. Al-Alaq 1-5
2. Memahami
falsafah dasar iqra’
3. Memahami
proses pendidikan berdasarkan QS. Al-Alaq 1-5
PEMBAHASAN
A. Sebab Turunnya QS. Al-Alaq 1-5
Para Ulama mempunyai banyak
pendapat dalam masalah ayat apa yang pertama kali diturunkan dan apa yang yang
terakhir. Namun pendapat yang paling
shahih mengenai yang pertama kali turun ialah firman dalam Surat-Al ‘Alaq ayat
1-5. Dasar pendapat ini adalah hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim
dan lainnya dari Aisyah yang mengatakan :
“Wahyu yang pertama kali
dialami oleh Rasulullah Sallallahu 'Alahi Wasallam adalah mimpi yang benar di
waktu tidur. Beliau melihat dalam mimpi itu datangnya bagaikan terangnya pagi
hari. Kemudian beliau suka menyendiri. Beliau pergi ke gua Hira untuk beribadah
beberapa malam. Untuk itu beliau membawa bekal. Kemudian beliau pulang kembali
ke Khadijah radiyallahu 'anha, maka Khadijah pun membekali beliau seperti bekal
terdahulu. Lalu di gua Hira datanglah kepada beliau satu kebenaran, yaitu
seorang malaikat, yang berkata kepada Nabi : “Bacalah!” Rasulullah menceritakan
: “maka aku pun menjawab : Aku tidak bisa membaca”. Malaikat tersebut lalu
memelukku sehingga aku merasa amat payah. Lalu aku dilepaskan, dan dia berkata
lagi : “Bacalah!” maka akupun menjawab : “Aku tidak bisa membaca”. Lalu dia
merangkulku yang kedua kali sampai aku kepayahan. Kemudian dia lepaskan lagi dan
berkata : “Bacalah!” Aku menjawab : “Aku tidak bisa membaca”. Maka dia
merangkulku yang ketiga kalinya sehingga aku kepayahan, kemudian dia berkata :
“Bacalah dengan (menyebut) nama
Rabbmu Yang menciptakan.. sampai dengan …apa yang tidak diketahuinya”.
Dari uraian diatas dapat
disimpulkan bahwa ayat Al-Quran yang pertama kali
diturunkan kepada Nabi Muhammad adalah yang Al-Alaq ayat 1
sampai dengan ayat 5. Pewahyuan ini terjadi ketika Nabi Muhammad sedang
berkhalwat di Gua Hira’.
B. Falsafah Dasar Iqra’
QS.
Al-Alaq 1-5
ù&tø%$# ÉOó$$Î/ y7În/u Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ t,n=y{ z`»|¡SM}$# ô`ÏB @,n=tã ÇËÈ ù&tø%$# y7/uur ãPtø.F{$# ÇÌÈ Ï%©!$# zO¯=tæ ÉOn=s)ø9$$Î/ ÇÍÈ zO¯=tæ z`»|¡SM}$# $tB óOs9 ÷Ls>÷èt ÇÎÈ
Terjemahnya
1.
bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang
Menciptakan,
2.
Dia telah menciptakan manusia dari segumpal
darah.
3.
Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,
4.
yang mengajar (manusia) dengan perantaran
kalam
5.
Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya.
Kata iqra’ terambil
dari akar kata qara’a masdarnya qar’an, qira’atan,
qur’anan artinya adalah membaca, menelaah, meneliti, menyampaikan,
mendalami, danmengetahui ciri sesuatu.
Beraneka
ragamnya arti dari kata ini yang kesemuanya dapat dikembalikan pada
hakekat menghimpun, menyebabkan obyek perintah iqra’ mencakup
segala sesuatu yang dapat dibaca atau dijangkaunya, baik teks tertulis maupun
yang tidak tertulis (alam ini).
Iqra’ (fi’il
amar dari kata qara’a) yang dalam al-Qur’an terulang sebanyak tiga
kali, masing-masing pada surat al-Isra; : 14 dan surat al-‘Alaq : 1 & 3,
sedangkan kata jadian dari akar kata tersebut, dalam berbagai bentuk ditemukan
terulang sebanyak 17 kali selain kata al-Qur’an yang terulang
sebanyak 70 kali, jika diamati obyek dari ayat-ayat yang menggunakan akar kata qara’a ditemukan
bahwa ia terkadang menyangkut suatu bacaan yang bersumber dari Tuhan al-Qur’an
dan kitab suci sebelumnya- (lihat misalnya Qs. Al-Isra’ : 45 dan Yunus : 94)
dan terkadang juga obyeknya adalah suatu kitab yang merupakan himpunan karya
manusia atau dengan kata lain bukan bersumber dari Tuhan (lihat Qs. Al-Isra’ :
14).
Dalam
al-Qur’an juga ditemukan kata yang berakar dari kata tilawah berartimembaca, tetapi
disini ditemukan perbedaan antara membaca yang
berakar dari kata qara’a dengan membaca yang
menggunakan akar kata tilawah, dimana kata terakhir ini
digunakan untuk bacaan-bacaan yang sifatnya suci dan pasti benar (lihat Qs.
Al-Baqarah : 252 dan al-Maidah : 27).
Dilain
segi, dapat dikemukakan suatu kaidah bahwa kata dalam susunan redaksi yang
tidak disebutkan obyeknya, maka obyek yang dimaksud bersifat umum, mencakup
segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh kata tersebut. Dari sini dapat ditarik
kesimpulan bahwa karena kata qara’a digunakan dalam arti
membaca, menelaah, menyampaikan dan sebagainya, dan karena obyeknya tidak
disebut sehingga bersifat umum, maka obyek kata tersebut mencakup segala
sesuatu yang dapat dijangkau, baik bacaan yang bersumber dari Tuhan maupun
bukan, baik menyangkut ayat-ayat tertulis maupun tidak, sehingga mencakup
telaah terhadap alam raya, masyarakat, diri sendiri, ayat suci al-Qur’an,
majalah, koran, dan lain sebagainya.
Sedemikian
luasnya obyek qara’a ini dapat pula mengalami penyempitan
makna, apabila hanya dilihat dari dirangkaikannya kata tersebut dengan kata qalam, baik
pada ayat keempat sura al-‘Alaq maupun ayat pertama surat al-Qalam. Namun,
harus diingat bahwa sekian banyak pakar tafsir kontemporer memahami kataqalam, sebagai
segala macam alat tulis-menulis sampai kepada mesin-mesin tulis dan cetak yang
canggih, dan juga harus diingat bahwa qalam bukan satu-satunya
alat untuk membaca atau memperoleh ilmu pengetahuan.
Iqra’ (bacalah), begitulah
perintah Alloah dalam surat al-‘Alaq ayat pertama yang dirangkaikan
dengan bismi rabbika (dengan nama Tuhanmu), dapat diartikan
bahwa untuk memperoleh ilmu pengetahuan manusia harus pandai membaca. Membaca
disini tidak hanya berkonotasi dengan “bahasa maupun simbol-simbol suara
lainnya”, tetapi lebih dari itu, akibat luasnya jangkauan membaca tersebut.
Dengan
demikian membaca adalah syarat utama guna memperoleh ilmu pengetahuan dan dari
ilmu pengetahuan itulah manusia mencapai peradabannya. Sebagai kontrol dari
perkembangan ilmu pengetahuan yang diperoleh, manusia harus melandasi
pemahamannya hanya “karena Allah”, agar tercipta keseimbangan antara
perkembangan pikiran dan spiritualnya.
Kemudian
pada ayat ketiga, Allah juga memerintahkan manusia agar membaca(iqra’),
tetapi perintah ini tidak dirangkaikan dengan bismi rabbika seperti
pada ayat pertama melainkan dengan warabbukal-akram, ini
berarti bahwa untuk menumbuhkan minat baca seseorang, ia harus sadar dan yakin
bahwa dengan membaca ia akan memperoleh ilmu pengetahuan, karena “Tuhan
Maha Pemurah” dan akan memberikan kita pemahaman sesulit apapun bacaan
yang kita baca
C.
Konsep
pendidikan berdasarkan QS. Al-Alaq 1-5
Dalam
pembahasan ini, terlebih dahulu akan dibahas proses kejadian manusia
sebagaimana tertuang dalam surat al-‘Alaq ayat kedua, khalaqal-insana
min ‘alaq(Dia menciptakan manusia dari ‘alaq). Kata ‘alaq pada
ayat ini mempunyai banyak arti, antara lain : segumpal darah, sejenis cacing,
sesuatu yang berdempet dan bergantung, ketergantungan dan sebagainya.
Sedangkan
Sayyid Qutb mengartikan kata ‘alaq dengan segumpal darah atau
setitik darah beku yang melekat pada dinding rahim, dari benih yang sangat
kecil dan sederhana bentuknya.
Dalam
ayat lain, Allah juga menjelaskan tentang proses kejadian manusia, yaitu surat
al-Mu’minun ayat 12-14, yang oleh M. Hasby Ash-Shiddieqy dalam tafsirnya
“An-Nur” diterjemahkan demikian, “Dan sesungguhnya telah kami jadikan
manusia dari tanah yang bersih, kemudian kami jadikannya air mani yang disimpan
ditempat yang kukuh, kemudian kami jadikan air mani itu segumpal darah, lalu
kami jadikannya sepotong daging; dari daging kami jadikan tulang, tulang itu
kami bungkus dengan daging, dan kemudian kami menjadikannya makhluq yang baru
(manusia sempurna), Maha Berbahagia Allah sepandai-pandai Yang menjadikan
sesuatu.
Memperhatikan ayat ini, jelaslah bahwa al-‘alaq menempati
periode kedua dari proses kejadian manusia setelah nuthfah. Dan
dapat disimpulkan bahwa proses kejadian manusia terdiri atas lima periode :
(1) al-Nuthfah; (2) al-‘Alaq; (3) al-Mudhghah; (4) al-‘Idzam; dan
(5) al-Lahm.
Al-Nuthfah, yang
dalam bahasa al-Qur’an dijelaskan sebagai “setetes yang dapat
membasahi”, atau dengan kata lain merupakan bagian kecil dari mani
yang dituangkan kedalam rahim, pada dasarnya sejalan dengan penemuan ilmiah
abad ke 20 ini yang menginformasikan bahwa pancaran mani yang menyembur dari
alat kelamin pria mengandung sekitar dua ratus juta benih manusia dan hanya
satu yang berhasil bertemu dengan ovum. Itulah yang dimaksud al-Qur’an dengan :
نطفة من مني يمنى
(Nuthfah
dari mani yang memancar) –lihat
Qs. An-Najm : 46
Dalam
ayat ini (al-Mu’minun : 12-14), Allah tidak menggunakan kata “aku”melainkan “kami” dalam
menyelesaikan penciptaannya. Ini menunjukkan bahwa dalam proses kejadian
manusia juga terdapat campur tangan manusia didalamnya, yang selanjutnya sangat
berpengaruh terhadap perkembangannya, terutama terhadap proses pendidikan
manusia itu sendiri.
Proses
pendidikan manusia dipengaruhi oleh dua faktor, keturunan dan lingkungan.
Faktor keturunan diperoleh manusia sebagai hasil pewarisan dari orang tua
maupun nenek moyang anak didik (melalui proses bertemunya sel sperma atau
nuthfah dengan ovum), sedangkan Faktor lingkungan adalah hasil interaksi anak
didik dengan alam sekitarnya.
Dengan
demikian menjadi jelaslah bahwa proses kejadian manusia juga memberi pengaruh
terhadap proses perkembangan maupun pendidikan manusia tersebut.
Kemudian
pada ayat selanjutnya Allah menekankan pentingnya membaca dan tulis menulis
dalam proses pendidikan manusia (al-‘Alaq : 3 dan 4) sebagai unsur dasar
(walaupun bukan satu-satunya) untuk memperoleh ilmu pengetahuan.
Kedua
unsur ini merupakan unsur penting dalam proses pendidikan (terutama pendidikan
formal) yang dapat diharapkan melahirkan generasi-generasi muda berbakat dan
mempunyai minat baca / belajar yang tinggi sebagai suatu bentuk pengabdiannya
kepada Allah. Karena Allah Maha Pemurah tentunya Dia akan
memberikan kita berupa pemahaman dan ilmu dari apa yang belum kita ketahui
(al-‘Alaq : 5).
Disini
kita dapat melihat adanya perbedaan antara perintah membaca pada
ayat pertama dan perintah membaca pada ayat ketiga. Dimana
ayat yang pertama menjelaskan syarat yang harus dipenyuhi seseorang ketika
membaca, sedangkan perintah kedua menjanjikan manfaat yang akan diperoleh dari
bacaan tersebut.
Tuhan
dalam ayat ketiga sampai kelima surat ini, menjanjikan bahwa pada saat
seseorang membaca “demi karena Allah” (al-‘Alaq : 1), maka
Allah akan menganugerahkan kepadanya ilmu pengetahuan, pemahaman-pemahaman dan
wawasan-wawasan baru walaupun yang dibaca tetap itu-itu juga. Hal ini diketahui
dengan adanya pengulangan perintah membaca dalam surat tersebut, bahwa untuk
memperoleh ilmu pengetahuan seseorang harus mengulang-ulang bacaannya.
Apa
yang dijanjikan Allah disini sebenarnya telah terbukti secara jelas, baik dari
membaca al-Qur’an yaitu dengan adanya penafsiran-penafsiran baru, maupun dari
membaca alam ini, dengan bermunculannya penemuan-penemuan baru yang telah
membuka rahasia-rahasia alam.
Demikianlah,
perintah membaca (sebagai proses pendidikan manusia) merupakan perintah yang
paling berharga yang diberikan Allah kepada umat manusia. Karena, membaca
merupakan jalan yang akan mengantarkan manusia mencapai derajat kemanusiaannya
yang sempurna, sehingga tidak berlebihan bila dikatakan bahwa “membaca” adalah
syarat utama guan membangun peradaban. Dan bila diakui bahwa semakin luas
pembacaan semakin tinggi pula peradaban, demikian pula sebaliknya.
Mansuia
sebagai ’abdallah dan khalifah fil ardh memiliki
potensi untuk memahami perintah ini, karena kekhalifahan yang diperankan
manusia menuntut adanya pengenalan terhadap tempat dimana manusia itu berada.
Dan pengenalan ini tidak akan dicapai tanpa usaha meupun proses membaca,
menelaah, mengkaji dan sebagainya yang merupakan syarat pertama dan utama bagi
keberhasilan manusia. Berdasarkan hal tersebut, tidaklah mengherankan jika
perintah iqra’menjadi tuntunan pertama yang diberikan Allah SWT.
kepada umat manusia.
Manusia
dicipta oleh Allah (The Unity of God) sebagai makhluq dua
dimensi; jasmani dan rohani. Keduanya memiliki substansi yang berbeda; jasmani
atau dikenal dengan tubuh mempunyai sifat material. Ia berasal dari tanah dan
akan kembali ketanah setelah manusia mati. Dilihat dari unsur ini, manusia adalah
makhluq biologis yang cenderung mencari kebutuhan-kebutuhan biologisnya, dan
inilah yang membedakan manusia dengan malaikat, tetapi tidak berbeda dari
binatang. Sementara itu, rohani atau ruh bersifat immaterial. Ia berasal dari
substansi imateri dialam ghaib dan akan kembali ke alam ghaib setelah manusia
mati. Sebagaimana firman Allah SWT:
“Yang
membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai
penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari
saripati air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan
kedalam (tubuh)nya ruh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur”. (Qs.
Al-Sajdah : 7-9).
Rohani,
seperti yang dikemukakan oleh al-Jurjani adalah manefestasi Zat Ilahiyah dari
segi rububiyah. Tidak ada yang dapat mengetahui hakikatnya kecuali
Allah SWT. Ia merupakan substansi yang berbeda dari tubuh, kadang-kadang ia
lepas dari tubuh dan kadang-kadang masuk kedalam tubuh.
Ia
berpadanan dengan kata jiwa (al-Nafs), akal (al-‘aql),
dan hati (al-qalb, alfuad). Didalam roh terdapat dua daya;
daya berpikir yang berpusat dikepala, disebut dengan akal, dan daya perasa yang
berpusat didada disebut kalbu.
Akal
yang dalam kata Arab dikenal dengan al-‘aql, dalam ayat-ayat
al-Qur’an maupun uraian kamus tidak dijelaskan bahwa akal adalah daya fikir
yang berpusat dikepala, al-‘aql malahan dikatakan sama
dengan al-qalb yang berpusat didada, seperti firman Allah:
افلم يسيروا فى الارض فتكون لهم قلوب يعقلون بها أو ءاذان
يسمعون بها فإنّها لاتعمى الابصر ولكن تعمى القلوب التى فى الصدور
“Apakah mereka tidak
melakukan perjalanan dipermukaan bumi sedangkan mereka mempunyai hati untuk
memahami atau telinga untuk mendengar; sesungguhnya bukanlah mata yang buta,
tetapi hati didalam dadalah yang buta”.(Qs. Al-Hajj : 46)
Dari
ayat ini dapat diketahui bahwa pemahaman maupun pemikiran tidak berpusat
dikepala melalui al-‘aql melainkan berpusat didada
melalui al-qalb, tetapi kemudian al-‘aql mengalami
perubahan makna akibat masuknya pengaruh filsafat Yunani kedalam pemikiran
Islam, kata al-‘aql dianalogikan sama dengan kata Yunani nous, yaitu
daya fikir yang terdapat dalam jiwa manusia. Dengan demikian pemahaman
maupun pemikiran tidak lagi melalui al-qalb didada tetapi
melalui al-‘aql dikepala.
Dalam
perkembangan selanjutnya, al-‘aql dan al-qalb ini
sama-sama mendapatkan porsi perhatian yang seimbang dalam pendidikan Islam,
seperti halnya unsur jasmani dan rohani yang membentuk manusia, dimana salah
satunya tidak lebih diutamakan dari yang lainnya, karena antara keduanya
sama-sama saling mempengaruhi.
Aspek
akal dengan daya berfikirnya dalam pendidikan Islam dilatih untuk mempertajam
penalaran. Hal ini dibuktikan dalam sejarah Islam; para filosof dan cendikiawan
Islam mengembangkan dan mempertajam daya ini atas dorongan ayat-ayat kauniyah,
ayat-ayat mengenai kosmos, yang mengandung perintah agar orang banyak
memikirkan dan meneliti alam sekitar. Hasil pemikiran mereka ternyata telah
membuat peradaban Islam berkembang dengan baik antara abad ke-8 sampai abad
ke-13 mesehi.
Sementara
itu, daya perasa (al-qalb) dilatih dan diasah dengan baik
untuk mempertajam hati nurani atau kata hati. Cara yang digunakan untuk tujuan
ini ialah ibadah-ibadah seperti shalat, zakat, puasa, haji dan berbagai bentuk
pensucian (tazkiyah) ruh lainnya.
Kata
hati adalah kesadaran individu akan adanya suatu mahkamah didalam dirinya, yang
didalamnya pikiran saling menuduh; dan ketika terjadi konflik kata hati,
individu akan menjadi penuntut, terdakwa dan sekaligus hakimnya. Setiap orang
mempunyai kata hati yang akan membuatnya selalu merasa diawasi, diancam dan
diingatkan oleh hakim yang ada didalam dirinya bahwa ia harus menghormati kata
hatinya, meskipun tenggelam dalam kejahatan dan ingin meninggalkan kata
hatinya, orang tetap akan kembali mendengarkan kata hatinya itu.
Kata hati selalu menuntun manusia untuk
berbuat baik. Oleh sebab itu, pendidikan Islam menghendaki agar kata hati
selalu hidup dalam keadaan apapun, baik ketika individu dalam keadaan rahasia
(merasa tidak ada orang yang mengawasi perbuatannya) maupun terang-terangan
(ada orang yang mengawasi perbuatannya).
Dewasa
ini, pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai hasil
pengembangan daya fikir (al-aql) manusia, telah menyebabkan
manusia melupakan kata hatinya. Manusia cenderung berambisi untuk mendapatkan
kehidupan dunia secara utuh dan mengabaikan kehidupan akhiratnya, sehingga ilmu
pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan kurang memperhatikan aspek-aspek
kemanusiaannya, dan bahkan menjadi bumerang bagi manusia itu sendiri.
Memang,
Islam sangat menganjurkan, mendorong dan memerintahkan manusia agar berfikir
dan mempergunakan akalnya, sebagaimana tertuang dalam ayat-ayat al-Qur’an
dengan menggunakan kata-kata nazhara, tadabbara, tafakkara, faqiha,
fahima, ‘aqala dan sebagainya, karena Islam memang diturunkan hanya
untuk orang-orang yang berakal dan karena akalnyalah manusia bertanggung jawab
terhadap perbuatan-perbuatannya.
Tetapi
perlu diingat bahwa dalam ayat pertama yang diwahyukan Allah kepada Nabi
Muhammad SAW. “iqra’ bismirabbika”, Allah tidak menempatkan
kalimat bismirabbika terpisah (dalam penempatan kalimatnya)
dengan kata iqra’, tetapi bersamaan dalam satu ayat. Ini
menunjukkan bahwa ketika manusia mempergunakan akalnya (iqra’) harus
sesuai dengan kata hatinya, atau dengan kata lain, manusia harus meyakini bahwa
apapun hasil yang diperoleh semata-mata “karena pertolongan Allah”. Sehingga
manusia tidak menuhankan rasio/akalnya sendiri dan menganggap akalnyalah yang
memperoleh kebenaran itu tanpa bantuan hati.
Dalam
Islam, antara akal dan hati adalah satu kesatuan (sama-sama dari unsur rohani)
dan merupakan sesuatu yang padu yang harus berjalan seimbang, tidak bolah ada
yang lebih diutamakan. Kelemahan pada salah satunya akan mengakibatkan manusia
menyimpang dari potensi fitrahnya dan tidak mampu menjalankan fungsinya, baik
sebagai hamba Allah maupun sebagai khalifah-Nya dimuka bumi. Karena akal tanpa
hati akan menyesatkan manusia dan cenderung membuat kerusakan dibumi, begitu
pula hati tanpa akal akan berputar-putar ditempatnya tanpa ada peningkatan
sedikitpun dan cenderungtaken for granted terhadap perubahan yang
terjadi.
Demikianlah
pendidikan Islam menyeimbangkan keduanya, akal dan hati, jasmani dan rohani.
Pendidikan Islam sesungguhnya menganut prinsip apa yang sekarang disebut
sebagai “pendidikan manusia seutuhnya”. Dalam hal ini Muhammad Qutb
mengemukakan bahwa Islam memandang manusia secara totalitas, mendekatinya atas
dasar apa yang terdapat didalam dirinya, atas dasar fitrah yang diberikan Allah
kepadanya. Tidak ada sedikitpun diantara fitrah itu yang diabaikan; tidak
pula memaksakan apapun selain apa yang dijadikan sesuai dengan
fitrahnya. Ia menganalisis fitrah manusia secara cermat, lalu menggesek seluruh
senar hingga melahirkan nada yang selaras. Ia tidak menggesek senar-senar itu
satu demi satu sehingga menimbulkan suara yang sumbang dan irama tidak harmonis
yang tidak mengekspresikan gubahan paling mengesankan.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari seluruh pembahasan dan
analisa yang penulis lakukan, secara umum dapat disimpulkan sebagai berikut:
Studi
analisa yang penulis lakukan terhadap surat al-‘Alaq ayat 1-5 dalam konteks
pendidikan Islam, yaitu dengan upaya mencari konsep pendidikan yang ditawarkan
oleh surat tersebut, dapat diungkap bahwa proses pendidikan manusia untuk
mencapai peradabannya dimulai dari membaca dan menulis, yang dalam prosesnya
juga melibatkan peran akan dan hati secara bersamaan
B. Saran
Untuk
menciptakan generasi insan kamil yang sesuai dengan tujuan penciptaannya, maka
proses pendidikan yang diterapkan haruslah memperhatikan aspek jasmani dan
rohani, serta akal dan hati manusia, agar tercipta suatu individu yang utuh dan
tidak menyimpang dari potensi fitrahnya.
Sedangkan
untuk mengaktualisasikan potensi individu secara maksimal, diperlukan adanya
optimalisasi peran pembawaan dan lingkungan, agar terbentuk suatu individu yang
mendekati titik kesempurnaannya, karena memang mustahil akan betul-betul
sempurna.
DAFTAR PUSTAKA
M. Quraisy Shihab, Wawasan al-Qur’an, (Bandung:
Mizan, 1996), hal.5, lihat juga, Membumikan al-Qur’an, Op.
Cit, hal. 167-168, dan Lentera hati,(Bandung: Mizan,
1994),
Sayyid Qutb, Tafsir fi dzilalil
Qur’an, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), jilid XII, hal. 305
M. Quraisy Shihab, Mu’jizat
al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1997),
Harun Nasution, Konsep manusia
menurut ajaran Islam, (Jakarta: Lembaga penerbitan IAIN Syarif
Hidayatullah, 1981),
S. Takdir Alisyahbana, Antropologi
Baru, (Jakarta: PT. Dian Rakyat, 1986),
.
Sayyid Qutb, Tafsir fi dzilalil
Qur’an, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), jilid XII, hal. 305
M. Quraisy Shihab, Mu’jizat al-Qur’an, (Bandung: Mizan,
1997), hal. 168
Harun Nasution, Konsep manusia menurut
ajaran Islam, (Jakarta: Lembaga penerbitan IAIN Syarif Hidayatullah,
1981), hal. 6
S. Takdir Alisyahbana, Antropologi Baru, (Jakarta: PT. Dian
Rakyat, 1986), hal. 29